Anomali Cuaca Indonesia 2025: Suhu Lebih Hangat, Curah Hujan Normal, dan Potensi Bencana Hidrometeorologi
Mei 19, 2025
ElangID - Jakarta, 19 Mei 2025 – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah merilis Climate Outlook 2025 atau Pandangan Iklim 2025, yang memprediksi kondisi cuaca dan iklim di Indonesia sepanjang tahun ini. Meskipun anomali iklim besar seperti El Niño atau La Niña kuat tidak diperkirakan terjadi, BMKG mencatat adanya anomali suhu udara yang lebih hangat dari rata-rata serta potensi cuaca ekstrem di beberapa wilayah. Berikut adalah ulasan lengkap mengenai kondisi cuaca di Indonesia pada 2025.
Anomali Suhu Udara: Lebih Hangat dari Normal
Menurut Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, suhu udara permukaan rata-rata bulanan di Indonesia sepanjang 2025 diprediksi mengalami anomali positif berkisar antara +0,3 hingga +0,6 °C, dengan puncaknya terjadi pada Mei hingga Juli 2025 (rata-rata anomali 0,4 °C). Wilayah yang perlu diwaspadai mengalami suhu tinggi meliputi:
- Sumatra bagian selatan
- Jawa
- Nusa Tenggara Barat (NTB)
- Nusa Tenggara Timur (NTT)
Data BMKG menunjukkan bahwa pada Januari 2025, suhu udara rata-rata mencapai 26,62 °C, dengan anomali positif sebesar 0,20 °C dibandingkan normal klimatologis (26,42 °C untuk periode 1991–2020). Anomali tertinggi tercatat di Stasiun Geofisika Bandung (1,2 °C), sementara anomali terendah di Stasiun Meteorologi Samarinda (-0,6 °C). Untuk April 2025, suhu rata-rata mencapai 27 °C, dengan anomali positif 0,13 °C, menempati posisi ke-18 tertinggi sejak 1981.
Tren kenaikan suhu ini merupakan kelanjutan dari tahun 2024, yang menjadi tahun terpanas dalam sejarah Indonesia dengan anomali suhu 0,8 °C. Direktur Informasi Perubahan Iklim BMKG, Fachri Radjab, menyatakan bahwa meskipun suhu 2025 tidak diperkirakan melampaui 2024, suhu rata-rata tetap akan lebih tinggi dari normal (26–27 °C). Pemanasan global menjadi faktor utama, diperparah oleh aktivitas antropogenik seperti deforestasi dan emisi gas rumah kaca.
Curah Hujan: Mayoritas Normal, Potensi Ekstrem di Beberapa Wilayah
BMKG memprediksi bahwa sebagian besar wilayah Indonesia (sekitar 67%) akan mengalami curah hujan tahunan dalam kategori normal, berkisar antara 1.000–5.000 mm/tahun. Sekitar 15% wilayah diperkirakan memiliki curah hujan di atas normal, terutama di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, sementara 1% wilayah seperti sebagian Sumatra Selatan, NTT, Maluku Utara, dan Papua Barat berpotensi mengalami curah hujan di bawah normal.
Kondisi La Niña lemah yang berlangsung hingga awal 2025 meningkatkan curah hujan hingga 20% di atas normal di beberapa wilayah, berpotensi menyebabkan bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor, terutama pada puncak musim hujan (Januari–Maret). Sebaliknya, pada puncak musim kemarau (Juni–Agustus), wilayah seperti Bali, NTB, dan NTT perlu mewaspadai hari tanpa hujan yang berkepanjangan, yang dapat memicu kekeringan dan kebakaran hutan.
Cuaca Ekstrem dan Bencana Hidrometeorologi
Awal 2025 ditandai dengan cuaca ekstrem di beberapa wilayah. BMKG mencatat curah hujan sangat lebat hingga ekstrem pada akhir Januari 2025, seperti:
- 229 mm/hari di Kalimantan Timur
- 192 mm/hari di Sulawesi Tengah
- 154 mm/hari di Kepulauan Riau
- 264 mm/hari di Jabodetabek
Fenomena atmosfer seperti La Niña lemah, Monsun Asia, Cold Surge, Madden-Julian Oscillation (MJO), serta Bibit Siklon Tropis (90S, 99S, dan 96P) berkontribusi pada hujan lebat, angin kencang, dan potensi banjir di wilayah seperti Papua, Jawa, Kalimantan, dan NTT pada Februari 2025.
Laporan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kejadian bencana hidrometeorologi pada Mei 2025, termasuk banjir di Lamandau, Kalimantan Tengah, tanah longsor di Semarang, Jawa Tengah, dan kebakaran hutan di Ogan Ilir, Sumatra Selatan. Kejadian ini menunjukkan bahwa meskipun curah hujan secara umum normal, cuaca ekstrem tetap menjadi ancaman.
Faktor Penyebab dan Dampak Perubahan Iklim
Menurut BMKG, kondisi iklim 2025 dipengaruhi oleh dinamika atmosfer dan laut, termasuk penyimpangan suhu muka laut di Samudra Pasifik dan Hindia. Fenomena ENSO (El Niño-Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) diprediksi netral sepanjang tahun, mengurangi risiko anomali iklim besar. Namun, perubahan iklim global akibat emisi gas rumah kaca dan deforestasi terus memperburuk frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem.
Dampak perubahan iklim tidak hanya terbatas pada suhu dan curah hujan, tetapi juga memengaruhi sektor pertanian, kesehatan, dan ekonomi. Curah hujan normal hingga di atas normal pada 2025 mendukung produktivitas tanaman pangan di wilayah sentra pangan, tetapi risiko banjir dan longsor mengancam infrastruktur dan pemukiman. Kekeringan dan kebakaran hutan di musim kemarau juga berpotensi mengganggu ketersediaan air dan meningkatkan polusi udara, terutama partikel PM2,5.
Rekomendasi dan Langkah Antisipasi
BMKG dan pemerintah mendorong langkah-langkah mitigasi untuk mengurangi dampak anomali cuaca, antara lain:
- Pemantauan Cuaca: Masyarakat diminta memantau informasi cuaca resmi melalui situs BMKG (www.bmkg.go.id) (www.bmkg.go.id), media sosial@infobmkg, atau aplikasi InfoBMKG.
- Infrastruktur Air: Optimalisasi sistem drainase, waduk, embung, dan kolam retensi untuk mengelola curah hujan tinggi dan kekeringan.
- Kesiapsiagaan Bencana: Pemerintah daerah diminta meningkatkan koordinasi untuk mengantisipasi banjir, longsor, dan kebakaran hutan. Masyarakat di wilayah rawan bencana diimbau menghindari aktivitas di lereng rawan longsor saat hujan.
- Aksi Iklim: Masyarakat didorong berkontribusi melalui pengurangan sampah, penanaman pohon, dan penggunaan transportasi ramah lingkungan untuk menahan laju perubahan iklim.
Dwikorita menegaskan bahwa meskipun 2025 tidak diprediksi mengalami anomali iklim besar, kewaspadaan tetap diperlukan. “Perubahan iklim adalah kenyataan yang harus kita hadapi bersama. Dengan data cuaca yang akurat dan langkah antisipatif, kita dapat mengurangi dampak bencana,” ujarnya.
Tahun 2025 di Indonesia ditandai dengan suhu udara yang lebih hangat dari normal, curah hujan mayoritas normal, dan potensi cuaca ekstrem di beberapa wilayah. Meskipun fenomena iklim global seperti La Niña lemah dan dinamika atmosfer meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi, prediksi BMKG menunjukkan tidak adanya anomali iklim besar. Namun, perubahan iklim global dan faktor antropogenik terus menjadi tantangan. Kesiapsiagaan masyarakat, pemerintah, dan pemangku kepentingan menjadi kunci untuk meminimalkan dampak anomali cuaca di tahun ini.
Sumber:
- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
- Bisnis.com
- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)