 |
Source : liliyuliadi.com |
ElangID - Karawang, 30 April 2025 – Jembatan perahu ponton milik Muhammad Endang Junaedi, atau yang akrab disapa Haji Endang, di Dusun Rumambe, Desa Anggadita, Kecamatan Klari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menghadapi ancaman penutupan dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum. Jembatan yang melintasi Sungai Citarum ini dianggap tidak memiliki izin sesuai ketentuan perundang-undangan dan berpotensi mengganggu fungsi alami sungai.
BBWS Citarum memasang spanduk peringatan di jembatan pada Minggu, 26 April 2025, yang berbunyi: “Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, jembatan ini tidak memiliki izin melintasi sungai.” Spanduk ini juga merujuk pada Peraturan Menteri PUPR Nomor 28 Tahun 2015, yang mensyaratkan izin untuk pemanfaatan sempadan sungai. Menurut BBWS, jembatan tanpa izin ini dapat mengganggu aliran sungai, terutama saat debit air meningkat atau terjadi banjir.
Namun, pada Senin, 27 April 2025, Haji Endang bersama warga setempat mencopot spanduk tersebut. Haji Endang menegaskan bahwa ia memiliki izin berupa Nomor Induk Berusaha (NIB) dan mempertanyakan sikap BBWS yang baru mempersoalkan jembatan setelah 15 tahun beroperasi. “Itu (BBWS) enggak ada kerjaan. Saya ada izin, NIB ada. Kalau usaha saya dianggap ilegal, ke mana BBWS selama 15 tahun ini?” ujar Haji Endang pada Selasa, 29 April 2025. Ia juga menyoroti manfaat jembatan bagi masyarakat, yang telah membantu ribuan pekerja dan warga menghemat waktu tempuh.
Sejarah dan Manfaat Jembatan
Jembatan perahu Haji Endang dibangun pada 2010 atas inisiatif Haji Endang setelah seorang tokoh masyarakat di Dusun Rumambe meminta solusi untuk akses yang terputus akibat jalan buntu. Awalnya, jembatan ini hanya berupa perahu kayu sederhana yang digunakan untuk menyeberang Sungai Citarum. Pada 2014, jembatan pernah karam, sehingga Haji Endang mengganti materialnya dengan besi dan merancang ulang menjadi jembatan ponton dengan 11 perahu besi yang dirangkai, dilengkapi alas besi, tali pengaman, dan ban pelampung untuk stabilitas.
Jembatan ini menghubungkan Desa Anggadita dan Desa Parungmulya, yang terpisah oleh Sungai Citarum sepanjang 120 meter. Dengan tarif Rp 2.000 per sepeda motor dan Rp 1.000 untuk pejalan kaki, jembatan ini melayani sekitar 10.000 pengendara per hari, terutama pekerja pabrik di Kawasan Industri Mitra (KIM). Omzet harian jembatan diperkirakan mencapai Rp 20-30 juta, yang digunakan untuk perawatan jembatan, penerangan, perbaikan jalan akses, dan gaji 40 karyawan yang mayoritas adalah warga sekitar. Jembatan ini juga memicu pertumbuhan ekonomi lokal, dengan banyak warga berjualan di sekitar akses jembatan.
Haji Endang menegaskan bahwa motivasinya bukan semata bisnis, tetapi untuk membantu masyarakat. “Awalnya tidak ada kepikiran untuk berbisnis, niatnya menolong masyarakat. Tapi karena butuh biaya perawatan, akhirnya dikenakan tarif,” katanya. Tarif Rp 2.000 ini tidak pernah naik sejak 2010 dan bersifat fleksibel—pengendara yang tidak membawa uang atau hanya membayar Rp 1.000 tetap diperbolehkan melintas.
Kontroversi dan Dampak Sosial
Ancaman penutupan jembatan memicu reaksi keras dari Haji Endang dan warga. Haji Endang menilai BBWS gegabah karena tidak mempertimbangkan dampak sosial bagi 40 karyawan dan keluarga mereka, serta ribuan warga yang bergantung pada jembatan ini. “Kalau ditutup, pikirkan dampaknya terhadap masyarakat. Sekarang pemerintah gencar dorong UMKM, tapi ini malah mau dibongkar. Apa suruh anak buah saya ngerampok?” ujarnya dengan nada kesal. Ia bahkan menyatakan akan melakukan perlawanan bersama warga jika BBWS memaksa membongkar jembatan.
Pengendara seperti Kardi, seorang pengantar roti, mengaku sangat terbantu oleh jembatan ini karena dapat menghemat waktu perjalanan hingga satu jam. “Kalau muter, waktu perjalanan jadi satu jam. Saya bolak-balik enam kali sehari, sangat terbantu,” katanya. Warga lain juga meminta jembatan ini tidak ditutup karena manfaatnya yang besar bagi mobilitas dan ekonomi lokal.
Respon dan Harapan Solusi
BBWS Citarum menyatakan bahwa pemasangan spanduk bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan regulasi sumber daya air. Mereka mendorong koordinasi antara pengelola jembatan, pemerintah daerah, dan BBWS untuk mencari solusi terbaik. Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Karawang diketahui sedang membangun dua jembatan permanen di wilayah lain, yaitu di Wahahar dan Dusun Rumambe 2, tetapi belum ada rencana konkret untuk mengambil alih jembatan Haji Endang.
Haji Endang sendiri menyatakan rela jika jembatan diambil alih pemerintah untuk kepentingan umum, tetapi ia meminta agar 40 karyawannya tetap dipekerjakan. “Saya titip pekerja saya. Mereka warga sekitar, tanpa batasan usia,” ujarnya.
Penutup
Jembatan perahu Haji Endang bukan hanya infrastruktur, tetapi juga simbol kegigihan dan solusi kreatif untuk mengatasi keterbatasan akses. Setelah 15 tahun berdiri dan membantu ribuan warga, keberadaannya kini di ujung tanduk. Koordinasi antara Haji Endang, BBWS Citarum, dan pemerintah daerah menjadi kunci untuk menemukan solusi yang tidak merugikan masyarakat. Hingga kini, nasib jembatan ini masih menunggu keputusan lebih lanjut.
- tvberita.co.id
- Wartakotalive.com
- Tribunnews.com
Merdeka.com