Ki Ageng Pandanaran: Pendiri Kota Semarang dan Penyebar Agama Islam
Mei 24, 2025
ElangID - Ki Ageng Pandanaran, yang juga dikenal sebagai Ki Ageng Pandan Arang, Pandanaran I, Sunan Pandanaran, atau Sayyid Abdul Qadir, adalah tokoh legendaris yang dianggap sebagai pendiri Kota Semarang dan bupati pertamanya.
Ia diangkat oleh Sultan Demak Bintara, tepatnya oleh Pangeran Suryo Panembahan Sabrang Lor (Adipati Unus), sultan kedua Kesultanan Demak, pada abad ke-16. Nama "Semarang" sendiri konon berasal dari istilah Jawa asem arang (pohon asam yang jarang-jarang), yang diucapkan Ki Ageng Pandanaran saat melihat pohon asam yang tumbuh jarang namun subur di daerah Bubakan, tempat ia berdakwah.
Ki Ageng Pandanaran dikenal sebagai seorang ulama yang menyebarkan agama Islam di wilayah Semarang, yang pada masa itu masih berupa hutan (alas) dan karang pinggir pantai.
Meskipun hidup sezaman dengan Wali Sanga, ia tidak termasuk dalam kelompok tersebut, tetapi memiliki pengaruh besar dalam proses Islamisasi di Jawa Tengah.
Ia berkedudukan di Pragota (kini Bergota, Kelurahan Randusari, Semarang Selatan), yang pada masa itu masih dekat dengan pantai sebelum adanya endapan tanah yang membentuk wilayah Kota Lama Semarang.
Silsilah dan Asal Usul
Terdapat beberapa versi mengenai asal usul Ki Ageng Pandanaran, yang mencerminkan sifat semi-mitologis tokoh ini:
- Keturunan Kesultanan Demak: Menurut beberapa sumber, Ki Ageng Pandanaran adalah cucu dari Pangeran Suryo Panembahan Sabrang Lor (Sultan Demak kedua) dan putra dari Maulana Ibnu Abdul Salam atau Pangeran Madiyo Pandan. Ia juga disebut sebagai keturunan Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit, melalui garis keturunan yang rumit. Ia menolak tahta Demak karena lebih memilih mendalami spiritualitas Islam.
- Saudagar Asing: Versi lain menyebutkan bahwa ia adalah saudagar asing, kemungkinan dari Arab, Persia, atau Turki, yang mendapat izin dari Sultan Demak untuk berdagang dan menyebarkan Islam di wilayah Pragota.
- Keturunan Pasai: Ada pula pendapat bahwa Ki Ageng Pandanaran adalah Sayyid Abdul Qadir, putra Maulana Ishaq, yang lahir di Pasai (kerajaan Islam di Aceh). Ia diutus oleh Sunan Giri untuk menjadi bupati Semarang dengan gelar Sunan Pandan Arang.
- Keturunan Ki Ageng Wanasaba: Sumber lain menghubungkan Ki Ageng Pandanaran sebagai putra dari Ki Ageng Wanasaba (cucu Brawijaya V), yang menikah dengan Nyai Ageng Made Pandan, cucu dari Sunan Giri.
Meskipun terdapat berbagai versi, konsensus umum menyebutkan bahwa Ki Ageng Pandanaran adalah tokoh penting dalam penyebaran Islam dan pemerintahan awal Semarang, dengan silsilah yang menghubungkannya ke tokoh-tokoh besar seperti Sunan Kalijaga, Sunan Giri, dan Kesultanan Demak.
Peran dalam Penyebaran Islam
Ki Ageng Pandanaran diutus oleh Sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Semarang, yang pada masa itu masih didominasi oleh kepercayaan Hindu-Buddha.
Ia berhasil mengislamkan sejumlah penduduk, termasuk Endang Sejanila, putri dari Pendeta Pragota yang beragama Hindu.
Endang Sejanila kemudian menjadi istrinya setelah Ki Ageng Pandanaran memenangkan sayembara melawan pendeta tersebut. Ia juga mendirikan Masjid Sunan Pandanaran, yang awalnya berupa langgar (musala) dengan dinding batu dan semen, sebagai pusat kegiatan keagamaan.
Ki Ageng Pandanaran dikenal sebagai pemimpin yang karismatik dan tegas. Ia mengadakan pengajian rutin, menyampaikan khotbah Jumat, dan mengembangkan pesantren serta tempat ibadah.
Ajarannya menekankan konsep Manunggaling Karsa Marang Gusti (penyembahan utuh kepada Allah SWT), yang tercermin dalam simbol segitiga dengan motif batik di kompleks makamnya.
Pepatah Jawa yang sering ia sampaikan adalah suridiro jayaningrat, lebur dening pangastuti, yang berarti segala perilaku buruk dapat dilawan dengan kelembutan.
Kesaktian dan Legenda
Ki Ageng Pandanaran juga dikenal memiliki kesaktian yang diyakini diperoleh dari gurunya, Sunan Kalijaga. Beberapa legenda yang terkenal meliputi:
- Mengubah Manusia Menjadi Domba: Menurut cerita, Ki Ageng Pandanaran pernah mengubah tiga orang yang mengganggu istrinya menjadi domba sebagai bentuk hukuman.
- Membelah Lautan: Ia disebut memiliki kemampuan serupa Nabi Musa, yaitu membelah lautan dengan tongkatnya, yang menunjukkan kesaktian spiritualnya.
- Asal Usul Tembalang: Dalam perjalanan ke Semarang bagian selatan, Ki Ageng Pandanaran membantu warga desa menangani aliran air Tuk Sanga (sembilan mata air) yang deras dan berpotensi menyebabkan banjir. Ia melakukan salat dan berhasil "menambal" aliran air tersebut, sehingga wilayah itu dinamakan Tembalang (dari tambal ilang, artinya menambal hingga hilang).
- Nasehat Sunan Kalijaga: Dalam satu cerita, Ki Ageng Pandanaran pernah menjadi sombong karena keberhasilannya sebagai bupati. Sunan Kalijaga, menyamar sebagai penjual rumput, menegurnya dengan menunjukkan kesaktian mengubah tanah menjadi emas. Peristiwa ini membuat Ki Ageng Pandanaran sadar dan kembali ke jalan yang benar.
Kehidupan Pribadi dan Keturunan
Ki Ageng Pandanaran menikah dengan Endang Sejanila (atau Nyai Ageng Sejanila), putri Pendeta Pragota. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai enam anak, yaitu:
- Pangeran Kasepuhan (Ki Ageng Pandanaran II/Sunan Tembayat), dimakamkan di Bayat, Klaten.
- Pangeran Kanoman (Pangeran Mangkubumi), dimakamkan di Imogiri, Yogyakarta.
- Nyai Ngilir (Nyai Arang), dimakamkan di Mugas Atas, Semarang.
- Pangeran Wotgalih, dimakamkan di Imogiri, Yogyakarta.
- Pangeran Bojong, dimakamkan di Semarang.
- Pangeran Sumedi, dimakamkan di Tembayat.
Setelah wafat, kedudukan bupati Semarang digantikan oleh putra sulungnya, Ki Ageng Pandanaran II (Sunan Tembayat), pada tanggal 2 Mei 1547, yang kemudian dijadikan sebagai hari jadi Kota Semarang.
Wafat dan Makam
Tanggal pasti kelahiran dan wafat Ki Ageng Pandanaran tidak diketahui secara pasti karena kurangnya catatan sejarah yang akurat.
Namun, beberapa sumber memperkirakan ia wafat sekitar 1547 atau beberapa dekade sebelumnya. Makamnya terletak di Jalan Mugas Dalam II, Nomor 04, RT 07/RW 03, Mugassari, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, bersebelahan dengan makam istrinya, Endang Sejanila, dan ayahnya, Maulana Ibnu Abdul Salam.
Kompleks makam ini menjadi tempat ziarah populer, terutama menjelang hari jadi Kota Semarang.
Makam Ki Ageng Pandanaran awalnya berada di Bubakan, tetapi dipindahkan ke Tinjomoyo (Pakisaji) pada masa penjajahan Belanda karena lokasi awal digunakan untuk gedung pengadilan.
Petilasan di Bubakan, yang kini berada di kompleks SMPN 38 Semarang, masih dianggap sebagai tonggak berdirinya Kota Semarang.
Warisan dan Peringatan
Ki Ageng Pandanaran meninggalkan warisan besar dalam bentuk:
- Pendirian Kota Semarang: Ia dianggap sebagai pelopor berdirinya Semarang melalui babat alas di Pulau Tirang (kini Mugas). Nama Semarang dan beberapa wilayah seperti Tembalang berasal dari kisah-kisahnya.
- Masjid Sunan Pandanaran: Masjid ini, yang awalnya berupa langgar, masih berdiri sebagai peninggalan sejarah.
- Haul Ki Ageng Pandanaran: Setiap tanggal 17 Muharram, diadakan peringatan haul untuk menghormati jasa-jasanya, disertai dengan kirab budaya dan penggantian kelambu makam. Haul ke-522 pada tahun 2024 dihadiri oleh Wali Kota Semarang dan pejabat daerah.
- Petuah dan Ajaran: Ajarannya tentang kelembutan dan penyembahan kepada Allah SWT masih dikenang melalui simbol dan pepatah Jawa di kompleks makamnya.
Kontroversi dan Catatan Kritis
Beberapa sumber menyoroti perubahan sifat Ki Ageng Pandanaran yang sempat menjadi sombong karena keberhasilannya, hingga ditegur oleh Sunan Kalijaga.
Kisah ini menunjukkan sisi kemanusiaan tokoh ini, yang meskipun memiliki kesaktian dan pengaruh besar, tetap memiliki kelemahan sebagai manusia.
Selain itu, beragamnya versi silsilah menunjukkan bahwa cerita tentang Ki Ageng Pandanaran memiliki elemen semi-mitologis, sehingga perlu penelitian lebih lanjut untuk memverifikasi fakta sejarah.
Ki Ageng Pandanaran adalah tokoh sentral dalam sejarah berdirinya Kota Semarang dan penyebaran Islam di Jawa Tengah.
Perannya sebagai bupati pertama, penyebar agama, dan pendiri kota menjadikannya sosok yang dihormati hingga kini.
Makamnya di Mugassari tetap menjadi pusat ziarah dan simbol warisan budaya Semarang.
Melalui haul, kirab budaya, dan cerita-cerita legenda, jasa Ki Ageng Pandanaran terus dikenang sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas Kota Semarang.
Referensi:
-: Joglo Jateng, Menelusuri Jejak Ki Ageng Pandanaran