Sejarah Perang Mu’tah: 3.000 Pasukan Muslim Melawan 200.000 Tentara Romawi
Mei 23, 2025
ElangID - Perang Mu’tah adalah salah satu pertempuran paling heroik dalam sejarah Islam awal, yang terjadi pada bulan Jumadil Awal tahun 8 Hijriah atau September 629 Masehi di wilayah Mu’tah, sebelah timur Sungai Yordan, dekat perbatasan Syam (kini bagian dari Yordania).
Pertempuran ini melibatkan 3.000 pasukan Muslim di bawah pimpinan tiga komandan utama yang ditunjuk oleh Nabi Muhammad SAW, melawan pasukan gabungan Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) dan sekutunya, suku-suku Arab Kristen Ghassaniyah, yang diperkirakan berjumlah 200.000 orang.
Meskipun kalah jumlah secara drastis, pasukan Muslim menunjukkan keberanian luar biasa dan strategi cemerlang, terutama di bawah kepemimpinan Khalid bin Walid.
Latar Belakang Perang Mu’tah
Perang Mu’tah dipicu oleh tindakan provokatif dari pihak Ghassaniyah, sekutu Kekaisaran Bizantium yang menguasai wilayah Syam. Latar belakang utama perang ini adalah pembunuhan utusan Nabi Muhammad SAW, Al-Harits bin Umair Al-Azdi, yang membawa surat dakwah untuk gubernur Bushra, seorang bawahan Kaisar Heraklius.
Utusan ini dicegat dan dibunuh oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghassani, seorang pemimpin Ghassaniyah, di Mu’tah. Menurut tradisi pada masa itu, membunuh utusan dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional dan setara dengan deklarasi perang.
Selain itu, sumber-sumber Islam menyebutkan bahwa pembunuhan ini bukanlah insiden tunggal. Sebelumnya, belasan utusan Muslim dari Bani Sulaiman juga dibunuh di daerah Dhat Al-Talh oleh penguasa Syam.
Tindakan-tindakan ini membuat Nabi Muhammad SAW marah dan memutuskan untuk mengirim ekspedisi militer untuk menghukum pelaku dan menegakkan otoritas Islam di wilayah utara Jazirah Arab.
Perjanjian Hudaibiyah (6 H/628 M) yang mengatur gencatan senjata dengan kaum Quraisy di Mekkah memberikan kelonggaran bagi Nabi Muhammad SAW untuk fokus pada wilayah utara, terutama Bilad Al-Sham, yang berada di bawah pengaruh Bizantium.
Konversi beberapa pemimpin suku, seperti Badhan dari Yaman, ke dalam Islam juga memperkuat posisi militer Muslim di Madinah, memungkinkan ekspedisi ini.
Persiapan dan Komposisi Pasukan
Nabi Muhammad SAW mempersiapkan pasukan sebanyak 3.000 orang, yang merupakan salah satu pasukan terbesar yang pernah dikirim pada masa itu setelah Perang Ahzab. Beliau menunjuk tiga komandan secara berurutan untuk memimpin pasukan:
- Zaid bin Haritsah, anak angkat Nabi dan salah satu sahabat terdekat.
- Ja’far bin Abu Thalib, sepupu Nabi yang dikenal sebagai pemimpin pemberani.
- Abdullah bin Rawahah, seorang penyair dan sahabat yang terkenal dengan semangat juangnya.
Nabi Muhammad SAW berpesan, “Jika Zaid gugur, maka Ja’far menggantikannya. Jika Ja’far gugur, maka Abdullah bin Rawahah menggantikannya. Jika Abdullah gugur, pilihlah pemimpin di antara kalian.”
Pasukan ini dilepas dengan penuh haru oleh penduduk Madinah, dengan Nabi Muhammad SAW mengantar hingga gerbang kota.
Di sisi lain, pasukan Bizantium dan sekutunya, menurut sumber-sumber Muslim seperti Al-Waqidi dan Ibnu Hisyam, berjumlah 200.000 orang, terdiri dari 100.000 tentara Bizantium dan 100.000 suku Arab Kristen dari kabilah Lakhm, Judzam, Al-Yaqin, Bahra’, dan Baly, yang dipimpin oleh Malik bin Zafilah atau, menurut beberapa sumber, Kaisar Heraklius sendiri atau adiknya, Theodorus.
Namun, sejarawan modern seperti Walter Emil Kaegi menyatakan bahwa angka 200.000 kemungkinan dilebih-lebihkan, dan jumlah pasukan Bizantium mungkin tidak lebih dari 10.000 hingga 20.000, mengingat keterbatasan logistik Kekaisaran Bizantium pada abad ke-7.
Jalannya Pertempuran
Pasukan Muslim bergerak menuju utara dan berhenti di Ma’an, wilayah Syam, untuk menyusun strategi setelah mendapat laporan bahwa pasukan musuh berkemah di Al-Balqa’. Menghadapi jumlah musuh yang sangat besar, beberapa sahabat menyarankan untuk mengirim utusan ke Madinah meminta bantuan atau mundur.
Namun, Abdullah bin Rawahah menegaskan semangat jihad dengan berkata, “Demi Allah, apa yang kalian takuti adalah yang kalian cari, yaitu syahid.
Kita tidak bertempur karena jumlah atau persenjataan, tetapi karena iman yang Allah muliakan kita dengannya.” Ucapannya ini membangkitkan semangat pasukan untuk maju.
Pertempuran dimulai di desa Musharif, dekat Mu’tah, sebelum pasukan Muslim mundur ke Mu’tah untuk menghadapi serangan utama.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa medan perang di Mu’tah terletak di antara dua lembah, yang memberikan keuntungan taktis bagi pasukan Muslim dengan menetralkan superioritas jumlah musuh.
Kepahlawanan dan Syahidnya Tiga Panglima
- Zaid bin Haritsah: Memimpin di garis depan sambil memegang panji Rasulullah, Zaid bertempur dengan gagah berani hingga akhirnya gugur ditikam tombak musuh.
- Ja’far bin Abu Thalib: Setelah Zaid gugur, Ja’far mengambil alih panji. Ia turun dari kuda, menyembelih kudanya agar tidak dimanfaatkan musuh, dan bertempur sengit.
- Ja’far kehilangan kedua tangannya akibat sabetan pedang musuh, namun tetap memegang panji dengan lengannya hingga syahid. Menurut Ibnu Umar, tubuh Ja’far memiliki lebih dari 50 luka tusuk di bagian depan, menunjukkan bahwa ia tidak pernah mundur.
- Abdullah bin Rawahah: Meskipun sempat ragu karena besarnya kekuatan musuh, Abdullah memotivasi dirinya sendiri dan pasukan dengan berkata, “Wahai jiwaku, jika tidak mati sekarang, kau akan mati nanti. Majulah!” Ia mengambil panji dan bertempur hingga gugur sebagai syahid.
Kepemimpinan Khalid bin Walid
Setelah ketiga panglima gugur, Tsabit bin Aqram mengambil panji untuk mencegah kepanikan, kemudian menyerahkan komando kepada Khalid bin Walid, yang baru tiga bulan masuk Islam tetapi memiliki pengalaman militer luar biasa.
Menghadapi situasi kritis, Khalid menggunakan strategi cerdas untuk menyelamatkan pasukan Muslim dari kehancuran total:
- Taktik Penipuan: Pada malam hari, Khalid mengatur ulang posisi pasukan, menukar sayap kanan dengan kiri dan barisan depan dengan belakang, menciptakan kesan bahwa pasukan bantuan baru telah tiba dari Madinah.
- Manuver Kavaleri: Ia memerintahkan pasukan berkuda bergerak bolak-balik di belakang bukit pada malam hari untuk menimbulkan debu, memperkuat kesan kedatangan bantuan.
Taktik ini membuat pasukan Bizantium-Ghassaniyah ragu untuk menyerang lebih lanjut, mengira pasukan Muslim telah diperkuat. Pada hari kedelapan, Khalid memutuskan untuk mundur secara terorganisir ke Madinah, dan pasukan musuh tidak mengejar karena khawatir dijebak di medan terbuka. Khalid bertempur dengan sangat sengit hingga sembilan pedangnya patah selama pertempuran.
Hasil dan Dampak Perang
Menurut sumber Muslim, seperti Ibnu Hisyam, hanya 8 hingga 13 sahabat Muslim yang gugur, termasuk tiga panglima utama.
Sumber lain menyebutkan 12 syuhada, di antaranya Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib, Abdullah bin Rawahah, dan beberapa sahabat lain seperti Mas’ud bin Al-Aswad dan Wahb bin Sa’d.
Di pihak musuh, korban diperkirakan mencapai 3.350 orang, meskipun angka ini tidak sepenuhnya dikonfirmasi.
Meskipun pasukan Muslim mundur, banyak sejarawan Islam, seperti Ibnu Katsir, menganggap Perang Mu’tah sebagai kemenangan strategis karena pasukan Muslim mampu bertahan melawan pasukan yang jauh lebih besar dan kembali ke Madinah dengan selamat.
Sejarawan Barat cenderung menyebutnya kekalahan karena tujuan awal menghukum Ghassaniyah tidak tercapai. Namun, dampak jangka panjangnya signifikan:
- Moral Pasukan Muslim: Meskipun mundur, keberanian pasukan Muslim meningkatkan reputasi mereka sebagai kekuatan yang tangguh. Nabi Muhammad SAW memuji langkah mundur Khalid dengan berkata, “Mereka bukan lari, tetapi orang-orang yang akan tampil kembali, insya Allah.”
- Konversi Farwah bin Amr: Seorang komandan Bizantium dari Banu Judzam memeluk Islam setelah perang, meskipun akhirnya disalib oleh pihak Bizantium setelah keislamannya diketahui.
- Titik Awal Penaklukan Syam: Perang Mu’tah menjadi pendahuluan bagi ekspedisi Muslim berikutnya, seperti Perang Tabuk (9 H/630 M) dan Perang Yarmuk (636 M), yang mengakhiri dominasi Bizantium di Syam.
Kontroversi dan Analisis Modern
Angka 200.000 pasukan musuh yang disebutkan dalam sumber-sumber Muslim klasik, seperti Al-Waqidi dan Ibnu Hisyam, sering dipertanyakan oleh sejarawan modern.
Walter Emil Kaegi berpendapat bahwa jumlah ini kemungkinan dilebih-lebihkan karena keterbatasan logistik Bizantium pada masa itu. Perkiraan yang lebih realistis adalah 10.000 hingga 20.000 pasukan Bizantium dan sekutunya.
Meski demikian, ketimpangan jumlah tetap signifikan, menunjukkan keberanian dan ketangguhan pasukan Muslim.
Sumber Bizantium menyebutkan bahwa pasukan Muslim berencana menyerang pada hari raya, dan Vicarius Bizantium setempat mengumpulkan garnisun benteng untuk menghadapi mereka.
Hal ini menunjukkan bahwa Bizantium sudah mempersiapkan diri, meskipun tidak mengharapkan ketangguhan pasukan Muslim yang kecil namun terorganisir.
Hikmah dan Pelajaran
Perang Mu’tah menunjukkan beberapa pelajaran penting:
- Keimanan dan Semangat Jihad: Pasukan Muslim, meskipun kalah jumlah, bertempur dengan keyakinan kuat pada janji Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Anfal: 65-66), bahwa 20 orang yang sabar dapat mengalahkan 200 musuh.
- Kepemimpinan dan Strategi: Keberhasilan Khalid bin Walid dalam menyelamatkan pasukan menunjukkan pentingnya fleksibilitas taktis dan kecerdasan militer.
- Persatuan dan Ketahanan: Pasukan Muslim tetap bersatu meskipun kehilangan tiga panglima, menunjukkan kekuatan organisasi dan semangat kolektif.
Perang Mu’tah adalah bukti keberanian, keimanan, dan kecerdasan strategis umat Islam awal dalam menghadapi kekuatan adidaya dunia, Kekaisaran Bizantium.
Meskipun tidak mencapai kemenangan militer langsung, pertempuran ini memperkuat moral pasukan Muslim dan menjadi titik awal penaklukan wilayah Syam di masa khalifah berikutnya.
Kisah kepahlawanan Zaid, Ja’far, Abdullah, dan strategi Khalid bin Walid tetap dikenang sebagai salah satu momen epik dalam sejarah Islam.