Mengapa Orang Minang di Sumatera Barat Tidak Suka Kulit, Ceker, dan Kepala Ayam?
Juni 16, 2025
ElangID - Masakan Minangkabau, yang lebih dikenal sebagai masakan Padang, terkenal dengan cita rasa pedas, kaya rempah, dan penggunaan santan yang melimpah.
Namun, ada keunikan dalam pengolahan ayam di ranah Minang yang jarang ditemui di daerah lain di Indonesia: ayam yang disajikan biasanya tidak menyertakan kulit, ceker, dan kepala.
Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan kuliner, melainkan memiliki akar budaya, sejarah, dan pandangan praktis masyarakat Minangkabau.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam alasan di balik kebiasaan tersebut berdasarkan informasi dari berbagai sumber, termasuk wawasan dari masyarakat Minang sendiri.
1. Persepsi bahwa Kulit, Ceker, dan Kepala Ayam Dianggap "Jorok"
Salah satu alasan utama yang sering dikemukakan oleh masyarakat Minang adalah persepsi bahwa kulit, ceker, dan kepala ayam dianggap "jorok" atau kotor. Menurut beberapa warga Minang, ayam sering kali hidup di lingkungan yang kurang bersih, seperti kandang atau tanah berdebu, dan bagian-bagian seperti ceker dan kulit dianggap terpapar kotoran atau debu.
Seorang pengguna X asli Minang, misalnya, menyebutkan bahwa ibunya selalu membuang kulit ayam karena dianggap kotor akibat kebiasaan ayam yang suka "mandi" di tanah atau pasir, serta karena kulit dianggap berminyak dan berlemak.
Persepsi ini juga diperkuat oleh kebiasaan turun-temurun di mana anak-anak Minang sejak kecil sudah terbiasa melihat ayam diolah tanpa kulit, ceker, dan kepala. Seorang warga Minang lainnya berbagi bahwa ibunya merasa "geli" saat melihat bagian-bagian tersebut, sehingga kebiasaan ini menurun ke generasi berikutnya.
Akibatnya, banyak orang Minang yang merasa tidak nyaman atau bahkan tidak terbiasa mengonsumsi bagian-bagian tersebut, terutama jika mereka dibesarkan di lingkungan yang menghindarinya.
2. Proses Penjualan Ayam yang Efisien di Pasar
Alasan lain yang muncul adalah terkait proses penjualan ayam di pasar-pasar tradisional di Sumatera Barat, seperti Pasar Bawah di Bukittinggi. Menurut pengamatan, ayam yang dijual di pasar biasanya sudah dikuliti sejak dari bentuk utuh hingga siap jual.
Seorang pengguna X menduga bahwa kebiasaan ini dilakukan untuk mempermudah proses penjualan dari ayam hidup ke ayam mentah yang siap diolah.
Dengan menguliti ayam sejak awal, penjual dapat menawarkan daging yang terlihat bersih dan menarik bagi pembeli, yang pada akhirnya menjadi standar di kalangan masyarakat Minang.
Proses ini juga memengaruhi cara ayam diolah di rumah makan Minang. Sebuah artikel dari Langgam.id mencatat bahwa ayam di rumah makan di Sumatera Barat biasanya disajikan tanpa kulit, sehingga dagingnya langsung terlihat.
Perbedaan ini sangat jelas bagi orang Minang yang merantau ke daerah lain, di mana ayam sering kali masih disajikan dengan kulitnya. Kebiasaan ini menjadi ciri khas masakan Minang otentik, terutama di daerah asalnya.
3. Pengaruh Budaya dan Kebiasaan Turun-Temurun
Kebiasaan menghindari kulit, ceker, dan kepala ayam juga terkait erat dengan budaya Minangkabau yang menekankan kebersihan dan estetika dalam penyajian makanan. Masakan Minang dikenal dengan penggunaan rempah yang kaya dan tampilan yang menggugah selera, sehingga bagian ayam yang dianggap kurang menarik atau sulit diolah sering kali dihilangkan.
Seorang pengguna X menyebutkan bahwa sejak kecil, mereka hanya terbiasa makan daging ayam tanpa bagian lain seperti jeroan, ceker, atau kepala, karena kebiasaan ini sudah tertanam dalam keluarga mereka.
Selain itu, budaya Minang yang kuat dalam menjaga tradisi turun-temurun membuat kebiasaan ini sulit berubah, bahkan di kalangan perantau.
Banyak orang Minang yang merantau ke luar Sumatera Barat tetap mempertahankan cara pengolahan ayam tanpa kulit, ceker, dan kepala, meskipun mereka mulai terpapar dengan kuliner dari daerah lain.
Namun, ada pula generasi muda Minang yang mulai mencoba bagian-bagian tersebut karena pengaruh tren kuliner atau rasa penasaran, seperti yang diungkapkan seorang pengguna X yang baru mencoba kulit ayam saat kuliah karena "fomo" (fear of missing out).
4. Alasan Kesehatan dan Tekstur
Meskipun tidak selalu disadari, alasan kesehatan juga memainkan peran dalam kebiasaan ini. Kulit ayam dikenal mengandung lemak tinggi, yang dapat meningkatkan risiko kolesterol jika dikonsumsi berlebihan.
Sebuah artikel dari Alodokter menyebutkan bahwa dalam 100 gram kulit ayam panggang, terdapat 130 miligram kolesterol dan 45 gram lemak, yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan jika dikonsumsi secara berlebihan.
Ceker ayam juga mengandung lemak jenuh tinggi, yang dapat menyebabkan peningkatan kolesterol jahat dan risiko penyakit jantung. Sementara itu, kepala ayam dianggap berisiko karena dapat menyimpan bahan kimia dari pakan atau vaksin yang diberikan selama pemeliharaan ayam.
Di sisi lain, tekstur ceker dan kepala ayam yang minim daging juga menjadi alasan mengapa bagian ini kurang diminati.
Bagi masyarakat Minang, yang terbiasa dengan olahan daging ayam yang bumbunya meresap, bagian seperti ceker dan kepala dianggap kurang praktis untuk diolah atau dinikmati.
Hal ini berbeda dengan daerah lain di Indonesia, seperti Jawa, di mana ceker dan kepala ayam sering diolah menjadi hidangan populer seperti soto atau seblak.
5. Pengecualian: Kulit Ayam sebagai "Special Things"
Meskipun secara umum kulit ayam dihindari, ada pula pandangan di kalangan masyarakat Minang bahwa kulit ayam tetap memiliki daya tarik tersendiri, terutama jika diolah dengan cara tertentu, seperti digoreng dengan tepung hingga renyah.
Seorang pengguna X menyebutkan bahwa meskipun budaya Minang tidak menyajikan kulit ayam, bagian ini tetap dianggap sebagai "special things" dalam masakan ayam. Namun, ini lebih merupakan pengecualian dan biasanya terjadi di luar konteks masakan Minang tradisional, seperti saat mengikuti tren kuliner modern.
6. Kurangnya Catatan Sejarah Spesifik
Menariknya, meskipun kebiasaan ini sangat kuat di kalangan masyarakat Minang, belum ada catatan sejarah spesifik yang menjelaskan asal-usulnya.
Seorang pengguna X mengakui bahwa mereka belum menemukan sejarah pasti mengapa orang Minang tidak makan kulit ayam, tetapi menduga bahwa ini berkaitan dengan efisiensi dalam proses penjualan dan pengolahan ayam.
Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan ini lebih merupakan tradisi lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi, bukan sesuatu yang terdokumentasi secara formal.
Kebiasaan orang Minang di Sumatera Barat untuk menghindari kulit, ceker, dan kepala ayam merupakan perpaduan dari faktor budaya, persepsi kebersihan, efisiensi dalam pengolahan, dan pertimbangan kesehatan.
Bagian-bagian ayam ini dianggap "jorok" atau kurang menarik karena kebiasaan turun-temurun dan lingkungan hidup ayam yang dianggap kotor.
Proses penjualan di pasar yang menyajikan ayam tanpa kulit juga memperkuat tradisi ini, sementara alasan kesehatan seperti kandungan lemak tinggi pada kulit dan ceker menjadi faktor pendukung.
Meskipun ada pengecualian di kalangan generasi muda yang mulai mencoba bagian-bagian tersebut, kebiasaan ini tetap menjadi ciri khas masakan Minang yang otentik, terutama di ranah Minangkabau.