HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Polemik Sengketa Empat Pulau Aceh-Sumatera Utara Memanas: Bukti Sejarah, Protes, dan Upaya Penyelesaian


ElangID – Sengketa kepemilikan empat pulau, yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar (Gadang), dan Pulau Mangkir Kecil (Ketek), di perbatasan Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) semakin memanas. 

Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan keempat pulau tersebut masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, memicu protes keras dari masyarakat dan pemerintah Aceh.
Polemik ini bukan hanya soal batas administratif, tetapi juga menyangkut identitas budaya, sejarah, dan potensi ekonomi pulau-pulau tersebut.
Latar Belakang Sengketa
Konflik ini berakar dari proses verifikasi data oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi pada tahun 2008, yang melibatkan Kemendagri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial (BIG), dan instansi terkait lainnya.
Saat itu, Aceh mencatat 260 pulau di wilayahnya, tetapi keempat pulau yang disengketakan—Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil—tidak termasuk dalam daftar tersebut.
Sebaliknya, Sumatera Utara mencatat 213 pulau, termasuk keempat pulau tersebut. Hasil ini dikonfirmasi pada 2012 untuk pelaporan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pada 2017, Kemendagri melalui Dirjen Bina Administrasi Wilayah menetapkan keempat pulau tersebut masuk wilayah Sumatera Utara berdasarkan analisis spasial.
Keputusan ini diperkuat pada 2022 melalui Kepmendagri Nomor 050-145 dan ditegaskan kembali pada April 2025. Namun, Pemerintah Aceh sejak 2017 telah mengajukan keberatan berulang kali, menyertakan bukti historis dan administratif bahwa pulau-pulau tersebut adalah bagian dari Kabupaten Aceh Singkil.
Bukti Klaim Aceh
Pemerintah Aceh dan Kabupaten Aceh Singkil menegaskan bahwa keempat pulau tersebut secara historis dan administratif merupakan bagian dari Aceh. Beberapa bukti yang diajukan meliputi:
  • Infrastruktur yang Dibangun Aceh: Di Pulau Panjang, terdapat tugu selamat datang, tugu koordinat (dibangun 2012 oleh Dinas Cipta Karya dan Bina Marga Aceh), rumah singgah, mushola (2012), dan dermaga (2015) yang semuanya didanai oleh APBD Aceh dan Aceh Singkil.
  • Dokumen Historis: Surat Kepala Inspeksi Agraria Aceh tahun 1965 (No. 125/IA/1965) menyebutkan pulau-pulau tersebut berada di bawah yurisdiksi Aceh. Selain itu, kesepakatan batas wilayah antara Gubernur Aceh dan Sumatera Utara pada 1988 dan 1992, yang disaksikan Menteri Dalam Negeri, menegaskan pulau-pulau ini sebagai bagian Aceh.
  • Bukti Sosiologis dan Budaya: Kebiasaan masyarakat Aceh Singkil, seperti larangan melaut pada hari Jumat yang juga diikuti nelayan Tapanuli Tengah, menunjukkan pengaruh budaya Aceh di pulau-pulau tersebut. Nelayan di wilayah ini juga tercatat memiliki KTP Aceh Singkil.
  • Peta Topografi 1978: Peta ini menunjukkan garis batas indikatif yang menempatkan keempat pulau dalam wilayah Aceh, meskipun belum ditetapkan secara resmi sebagai batas pasti.
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), menegaskan bahwa dari segi geografis, perbatasan, dan sejarah, keempat pulau ini adalah hak Aceh. “Kami punya bukti kuat, data kuat zaman dahulu kalau itu punya Aceh,” ujarnya di Jakarta, 12 Juni 2025.
Respons Sumatera Utara
Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, membantah tuduhan bahwa pemindahan status pulau merupakan tindakan sepihak.
Ia menegaskan bahwa keputusan ini diambil oleh pemerintah pusat setelah proses panjang yang melibatkan kedua provinsi dan instansi terkait. “Di situ nggak bisa main rebut-rebut. Semua dibahas secara teknis dan aturannya ada,” kata Bobby, mengacu pada rapat koordinasi dan survei lapangan sejak 2022.
Bobby juga mengusulkan pengelolaan bersama potensi pulau-pulau tersebut, seperti sumber daya migas dan pariwisata, untuk kepentingan kedua provinsi. “Kami ingin potensinya dikolaborasikan, bukan soal siapa yang memiliki,” ujarnya saat bertemu Gubernur Aceh pada 4 Juni 2025 di Banda Aceh.
Namun, wacana ini ditolak keras oleh sejumlah pihak di Aceh, termasuk Anggota DPD RI asal Aceh, Azhari Cage, yang menyebut ide pengelolaan bersama sebagai “ide gila” karena pulau-pulau tersebut dianggap milik Aceh secara penuh.
Protes dan Reaksi Masyarakat Aceh
Keputusan Kemendagri memicu gelombang protes dari masyarakat dan tokoh Aceh. Ratusan warga Aceh Singkil menduduki keempat pulau pada 5 Juni 2025 sebagai bentuk penolakan terhadap keputusan tersebut.
Wakil Ketua Partai Aceh, Suadi Sulaiman, menyebut keputusan ini melanggar Perjanjian Helsinki dan berpotensi memicu perpecahan antara Aceh dan Sumatera Utara. “Ini seperti mengadu domba Aceh dengan Sumatera Utara,” katanya.
Anggota DPD RI asal Aceh, Sudirman (Haji Uma), juga mendesak pengembalian pulau-pulau tersebut ke Aceh, merujuk pada kesepakatan 1992.
Ia menilai keputusan Kemendagri mencederai fakta sejarah dan data lapangan. Sementara itu, Bupati Aceh Singkil, Safriadi Oyon, bersama masyarakat setempat mengeluarkan deklarasi yang menegaskan kepemilikan Aceh atas pulau-pulau tersebut dan menolak Kepmendagri 2025 sebagai keputusan tanpa dasar hukum yang sah.
Sosiolog Universitas Syiah Kuala, Humam Hamid, menilai keputusan ini kental dengan pendekatan teknokratis yang mengabaikan konteks sejarah dan sosial.
Ia menegaskan bahwa pulau-pulau tersebut telah lama dikelola secara administratif oleh Aceh Singkil, dengan bukti fisik seperti prasasti dan dermaga.
Penjelasan Kemendagri
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan bahwa keputusan ini diambil setelah proses panjang yang melibatkan delapan instansi pusat, termasuk BIG, TNI AL, dan TNI AD, serta kedua provinsi.
Ia menyebut bahwa sengketa ini telah berlangsung sejak 1928, dan penetapan batas wilayah diperlukan untuk kepastian hukum, perencanaan pembangunan, dan penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU).
Tito menjelaskan bahwa batas darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah sudah disepakati, tetapi batas laut masih belum menemui titik temu.
Karena tidak ada kesepakatan antara kedua provinsi, pemerintah pusat berwenang menetapkan batas berdasarkan analisis geografis, yang menunjukkan keempat pulau lebih dekat ke pesisir Tapanuli Tengah.
Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, menambahkan bahwa keempat pulau ini tidak berpenduduk, meskipun terdapat bangunan seperti rumah singgah dan mushola di tiga pulau (kecuali Pulau Lipan).
Ia juga menyebut adanya kekeliruan koordinat yang diajukan Aceh pada 2009, yang menyebabkan pulau-pulau tersebut tidak tercatat dalam daftar 260 pulau Aceh.
Implikasi dan Upaya Penyelesaian
Polemik ini tidak hanya menyangkut batas wilayah, tetapi juga potensi ekonomi seperti migas di wilayah lepas pantai Singkil dan pariwisata. Aktivis Aceh, Muhammad Nur, mencurigai adanya motif bagi hasil migas di balik keputusan ini.
Sementara itu, Anggota DPR RI Muhammad Khozin dari Fraksi PKB meminta penyelesaian dilakukan secara elegan dengan mempertimbangkan aspek yuridis dan sosiologis, termasuk tradisi lokal seperti larangan melaut pada hari Jumat.
Tito Karnavian menyatakan terbuka untuk dialog dan mendukung solusi kolaboratif, seperti pengelolaan bersama, dengan mengatakan, “Kalau bisa kelola bersama, why not?” Namun, pihak Aceh menolak kompromi ini dan bersikeras agar pulau-pulau tersebut dikembalikan ke Aceh.
Sentimen Publik dan Media Sosial
Di media sosial, polemik ini memicu reaksi keras. Netizen menyerang Bobby Nasution, menudingnya terlibat dalam “perebutan” pulau, meskipun ia menegaskan bahwa keputusan ini murni dari pemerintah pusat.
Beberapa akun di X bahkan menyebut keputusan ini sebagai upaya “merampok” wilayah Aceh dan berpotensi mengganggu stabilitas NKRI.
Sengketa empat pulau ini mencerminkan kompleksitas penentuan batas wilayah di Indonesia, yang melibatkan aspek historis, administratif, dan sosiologis. Aceh bersikukuh dengan bukti sejarah dan infrastruktur yang telah dibangun, sementara Sumatera Utara dan Kemendagri berpegang pada analisis geografis dan proses administratif. Dialog antara kedua provinsi, seperti pertemuan Bobby Nasution dan Muzakir Manaf, belum menghasilkan kesepakatan. Pemerintah pusat didesak untuk mencari solusi yang adil agar polemik ini tidak memicu konflik sosial yang lebih luas.


Informasi di atas dirangkum dari berbagai sumber, termasuk laporan media seperti Suara USU, BBC News Indonesia, Kompas, Detik, Tempo, iNews, dan CNN Indonesia, serta cuitan di platform X.

Posting Komentar